ANTARA HATI, PIKIRAN, DAN KEINGINAN (Bagian II)

Beribu karya telah tercipta dari tangan-tangan manusia. Entah dari mana datangnya, berbagai inspirasi terus bermunculan, seakan alam tak pernah berhenti memperlihatkan sesuatu yang baru pada kita. Manusia-manusia kreatif tidak hanya menyimpan inspirasi-inspirasi tersebut dalam otak mereka. Mereka akan melahirkannya dalam berbagai bentuk karya cipta. Puisi, musik, lukisan, cerita dalam kertas, benda dan lain sebagainya. Kata orang bakat manusia telah ditentukan jauh sebelum ia dilahirkan. Bagaimana kalau bakat itu menuntut manusia untuk terus berkarya, sementara inspirasi berhenti muncul di kelopak mata, apa yang akan dilakukan manusia ?.
“Cobalah berhenti sejenak dan lakukan hal yang lain”.
Malam itu Boy, Popon, dan Uncu tengah duduk di teras rumah sambil menikmati secangkir kopi dan indahnya purnama 14. Boy mencoba memberikan masukannya.
“Sudah berapa banyak lukisan yang telah engkau buat ?”. Popon bertanya pada sahabatnya Boy.
Boy tidak menyebutkan angka pasti. “Sejak Kelas 2 SMP”. Jawaban itu menyiratkan begitu banyak lukisan yang telah ia buat.
“Mmmm. Kalau Uncu, apa yang telah berhasil Uncu ciptakan ?”. Kali ini pertanyaan itu diarahkan pada Uncu.
“Belum ada, paling hanya skripsi”.
“Tapi katanya Uncu pernah menulis puisi”. Boy coba mengingatkan Uncu tentang apa yang pernah dibuatnya pada waktu lalu.
“Ya, beberapa buah, tapi sekarang sudah hilang entah kemana, cukup bagus dan aku sendiri bangga dengan puisi itu”. Uncu membakar rokok dan menghisap asapnya.
“Aku juga menulis puisi dan sekarang masih tersimpan dalam file komputer”. Boy memberitahukan pada kedua sahabatnya kalau ia juga menulis puisi, walau kedua sahabatnya sudah tahu akan hal itu.
“Apakah kalian pernah mempublikasikan karya-karya kalian itu. Ya, setidaknya pada orang-orang sekitar kalian”.
“Bagiku semua yang telah aku ciptakan hanyalah untuk diriku sendiri, semua lebih bersifat privasi”. Sambil berdiri dan bersandar pada pagar Boy menyampaikan maksudnya berkarya.
“Semua orang berkarya aku pikir pada dasarnya adalah untuk dirinya sendiri. Tapi alangkah sayangnya kalau keindahan hasil karya kita itu tidak dapat dinikmati oleh orang lain”. Popon mencoba menyampaikan pandangannya yang sedikit menggurui, sudut matanya mengarah pada Boy.
“Benar apa yang kau sampaikan kawan, tapi itukan tergantung pada orangnya, kalau orang tersebut merasa belum siap untuk mempublikasikan karyanya bagaimana ?”. Uncu tahu kalau Popon sedang menuding Boy dengan kata-katanya. Merasa pembicaraan itu mengarah kepadanya, Boy mencoba membantah.
“Bukan masalah siap atau tidak siapnya Uncu, tapi ini masalah untuk siapa kita berkarya”.
“Pembelaan yang tidak pernah berubah sejak jaman batu”. Dengan nada sedikit mencemooh Popon menanggapi alasan Boy saat itu.
“Sebuah karya tidak akan bermakna apa-apa jika ia hanya tersimpan di balik bantal dan akhirnya hancur di makan bangsat. Orang tidak akan tahu siapa diri kita bila kita tidak pernah berdiri memperkenalkan diri, ia kan Uncu ?”. Popon membeberkan sedikit pemikirannya yang jelas di tujukan pada Boy.
“Hei.., cobalah kau hargai sedikit perbedaan. Uncu tolong kau ajar kawanmu itu !”. Boy merasa sedikit tersinggung dengan sikap Popon. Emosinya sedikit terpancing, tapi Boy bukan tipe orang yang gampang meledak.
“Oke.. oke, kalau kau tidak suka aku cabut kembali kata-kataku, jangan emosi kawan, inikan malam yang indah, coba lihat purnama itu, ia tersenyum pada kita, iya kan Uncu ?”. Popon mencoba bercanda untuk mendinginkan suasana. Uncu tersenyum saat melihat kedua sahabatnya itu saling berseberangan.
“Awas kau ya, suatu saat akan ku balas !”. Boy kembali tersenyum saat ia sadar kalau dirinya terbawa arus permainan sahabatnya malam itu.
“He..he..”. Popon merasakan sedikit kemenangan dalam dirinya. Sesaat suasana hening, tak ada percakapan, mereka asik menatap bulan sambil menghisap rokok dan sekali-kali mereguk nikmatnya kopi yang tidak lagi panas.
“O.iya Uncu !, ada yang ingin aku tanyakan”. Tiba-tiba suara Popon memecah keheningan di antara mereka.
“Aku baru saja selesai menulis sebuah cerita”. Ia melanjutkan pembicaraannya.
“O.., tentang apa ?”. Uncu coba untuk merespon.
“Tentang Minangkabau, tambonya aku robah dalam bentuk epik”. Popon melanjutkan lebih jauh.
“Trus ?”.
“Rencananya tulisan itu akan aku lampirkan dalam surat lamaranku”.
“Bagus kalau begitu, lalu permasalahannya apa ?”.
“Begini kawan, ada sesuatu yang terus mengganggu pikianku, sehingga sampai saat ini aku ragu untuk memasukkan lamaranku tersebut”. Asap rokok tak pernah berhenti keluar dari mulutnya. Uncu terlihat sedikit serius mendengarkan. Sedangkan Boy terus saja memandang bulan. Bagi Boy memandang bulan setiap purnama sudah menjadi ritual tersendiri.
“Aku minta pendapat pada Uncu, bagi-bagi ilmulah setidaknya. Anggap Uncu sebagai penasehat hukum aku saat ini”. Popon sedikit menjelaskan posisi kawannya saat itu dalam pembicaraan yang akan mereka lanjutkan. Uncu memang seorang sarjana hukum dan sekarang sedang melanjutkan studi S2nya di Yogyakarta bidang kenotariatan.
“Jadi begini, tulisan itukan aku buat dalam bentuk epik, aku berencana menjadikannya dalam bentuk visual. Lebih tepatnya epik yang aku buat itu dalam bentuk scrip. Tulisan itu akan aku sertakan dalam lamaran. Yang aku tujukan pada sebuah stasiun televisi nasional. Nah, sampai saat ini aku selalu dihantui pemikiran, bagaimana kalau seandainya tulisan ku itu di ambil oleh mereka ?”. Popon tidak tahu harus memulai pembicaraan itu dari mana, sehingga terkesan penjelasannya itu berbelit-belit. Namun kedua sahabatnya itu dapat menangkap apa inti dari semua itu.
“Hei..hei..hei.., ternyata kau tidak lebih baik dari aku kan ?”. Boy yang mencuri dengar, tiba-tiba melihat sedikit peluang untuk membalas sahabatnya itu.
“Tapi, nggak masalah, kita tidak akan membahas masalah itu, aku tidak mau “mundur””. Boy kembali duduk di kursinya. Saat melihat Uncu akan bicara Boy mencoba memotong dengan isyarat tangan.
“Sebentar Uncu. Begini, hem..hem...”. Ekspresinya yang dibuat-buat sama sekali tidak mengganggu kedua sahabatnya.
“Bagiku itu tidak masalah, yang jelas kita punya niat baik, kalau mereka mencuri, mereka sendiri yang akan rugi. Mereka tidak akan pernah maju. Kalian mengerti apa yang aku maksud ?”. Gayanya menerangkan dan bertanya mengingatkan Uncu dan Popon pada seorang dosen di kampus mereka dulu. Orangnya sudah sedikit berumur, mengajar dengan diktat tua yang sudah layak ganti di tangan. Lama kedua sahabatnya tidak menjawab sepatah katapun, akhirnya ia melanjutkan kembali penjelasannya yang sempat terputus. “Maksudnya begini, seseorang yang hidup dari hasil karya orang lain akan mati dengan sendirinya. Saat orang yang menjadi rujukannya berhenti mencipta, ia akan bingung, karena ia tidak biasa berkarya, otaknya tidak biasa untuk memunculkan ide-ide, bagaimana ?”. Walau sedikit membingungkan namun inti dari penjelasan Boy dapat di tangkap oleh ke dua sahabatnya. Jelas ini karena mereka sudah lama berteman dan tahu kebiasaan masing-masing.
“Itu kalau kita lihat dari sudut pandang humannya. Dari segi hukum, orang yang melakukan tindakan tersebut dapat di tuntut. Ada namanya undang-undang hak cipta, kira-kira begini, ketika seseorang mewujudkan pemikirannya dalam bentuk media, maka hak cipta itu akan lahir dengan sendirinya, HAKI, Hak Kekayaan Intelektual istilahnya”.
“Ya terlepas dari semua itu yang jelas kita berkarya, ya nggak ?, apakah nanti karya kita akan ditiru orang atau bagaimanapun itu sudah resiko yang harus kita hadapi, kalau kita terus berfikir karya kita akan dicuri orang lain, kapan tujuan kita akan tercapai. Indonesia kawan, kau tahu Indonesia ?”. Sambil mengangkat bahu dan menengadahkan telapak tangan, Boy memonyongkan mulutnya. Ia memang termasuk orang yang skeptis terhadap sikap moral individu masyarakat Indonesia.
“Dan lagian kalau seandainya ada orang lain yang mencuri ide kita, kita bisa ajukan tuntutan pada orang tersebut, ada jalur hukum yang mengaturnya”. Uncu mencoba melanjutkan penjelasannya. Tapi segera di potong oleh Popon.
“Begini Uncu. Aku pernah mengirim 8 buah lagu ciptaanku pada sebuah PH di Jakarta yang beberapa waktu lalu mengadakan lomba karya cipta lagu. Aku merekam lagu tersebut dalam bentuk kaset sekaligus tesknya. Waktu itu aku kirim lewat pos. Beberapa bulan kemudian aku mendengar sebuah irama lagu yang mirip dengan lagu yang pernah aku ciptakan. Tapi perasaan itu aku tepis, karena pihak panitia lomba yang aku ikuti tidak pernah menghubungi, jadi aku pikir itu mungkin bukan laguku”. Popon mencoba menceritakan pengalamannya beberapa tahun yang lalu.
“Copyannya ada kamu simpan ?”.
“Sayangnya tidak, semua aku kirimkan”.
“Kalau begitu apa yang akan kita jadikan bukti kalau lagu itu adalah karya kamu ?”. Popon terdiam, ia merasa sedikit tersudut dengan pertanyaan tersebut.
“Oke Uncu, tapi masalahnya begini. Mereka punya tim ahli, mereka bisa saja merobah sedikit karya kita, mereka paham apa yang lebih baik dimasukkan dan lebih baik dibuang, mereka punya ahlinya, atau kapan perlu mereka bisa bayar orang untuk melakukan hal tersebut. Mereka tinggal ambil intinya dan mengembangkannya lalu jadi. Yang jelas kita tidak bisa bilang kalau itu karya kita, iya kan ?”.
“Iya..iya, aku paham maksudmu, tapi kalau kita dapat melihat seseorang mencuri ide dari karya kita, dan kita yakin akan keyakinan kita itu, kita bisa tuntut orang itu”.
“Tidak, Uncu tidak paham apa yang ada dalam pikiranku. Uncu tahu, tidak hanya kita yang punya ide, semua orang punya ide, dan kadang kala ide kita itu sama”.
“Iya, aku paham”. Uncu mencoba memotong pembicaraan sahabatnya itu. “Bahkan ketika ide tersebut bertikai beberapa menit saja dalam perwujudannya dalam media, orang yang lebih dahulu melahirkannya dalam bentuk media, maka ia berhak mengklaim hak cipta terhadap karya tersebut”.
Pembicaraan itu akhirnya terhenti sejenak. Popon terus saja tidak puas dengan berbagai penjelasan Uncu. Boy yang diam sedari tadi akhirnya pergi ke luar untuk membeli rokok ke kedai. Pikiran Popon terbang entah kemana, masuk ke dalam ruang yang gelap, keluar di jalan yang remang, sampai akhirnya kembali.
“Aku tetap saja ragu Uncu, kau tahu kenapa ?”. Popon memutus kalimatnya. Boy yang baru saja kembali dari membeli rokok kembali duduk di posisinya. Boy meletakkan rokok di atas meja. Popon langsung membuka kotak rokok tersebut, mengeluarkan isinya sebatang dan menyambung rokoknya yang sudah terpuntung. Asapnya yang kelabu dihisapnya dalam, di hempaskannya ke langit-langit rumah.
“Kebudayaan kita. Masyarakat kita. Merupakan plagiat yang kreatif”. Setelah mengucapkan kalimat itu Popon kembali diam. Ia memandangi asap rokok yang terbang mengambang dan hilang di tiup angin. Apapun penjelasan dan argumen-argumen yang disampaikan oleh Uncu dan Boy, Popon tetap saja resah dan tak pernah tentramkan hati dan pikirannya. Entah mengapa Popon tetap saja tak pernah bisa menentramkan hatinya agar tidak lagi meragu. Pembicaraan itu kembali terus berlanjut, plagiat kreatif, pencurian ide, makan tulang kawan, menggunting dalam lipatan dan lain sebagainya menjadi tema sentral pembicaraan mereka malam itu. Namun Popon lebih banyak diam dan terus menatap rembulan yang berlahan tertutup awan. Dalam hati ia berkata :
Aku telah lelah menulis dan terus menulis, tapi jiwaku terus memaksa tanganku untuk bergerak.
Dapatkah kau tolong aku untuk menghentikan diriku.
Aku bosan kalau hanya tanganku yang terus bergerak, aku ingin setiap sendi di dalam tubuhku bergerak bebas, sebebas tanganku yang tak pernah berhenti menulis.
Setiap sel dalam darahku mendidih bila teringat masalah itu.
Hingga jiwaku memaksa tangan ini untuk terus merangkai kata yang “ia” inginkan.
Aku tak bisa lupakan masalah itu.
Tapi otakku bingung, masalah apa yang ada dalam diriku.
Aku sendiri heran, mengapa jadi begini, bangsat !, bedebah !, setan alas !, .......!, ........!. Hoooooi, kalian !!, tolong hentikan aku
”. (Wartel, 4 Mei 2002)


Vony Ponolia
081374403496



Komentar

Anonim mengatakan…
wah boleh juga neh crita ny...
ad sambungan ny lg gak???
btw tu no hape sapa c???
hehhehheheh
boynedihasan mengatakan…
mokasi vonso...
kalau boleh sebut namamu seperti itu...
hahaha... cambukkan atas sebuah idealisme memang tak hanya datang dari orang-orang yang jauh, tapi juga sering kali datang dari orang-orang terdekat yang pernah kita kenal...
aku juga merasa lelah menunggu "berwaktu" yang sering ku katakan. tapi aku masih kuat, jiwa ku masih peka merasakan indah dan magi nya purnama yang sirami kota, mataku juga masih bisa membungkus frama yang harmoni, dan tentunya tangan yang menjalarkan jari-jariku masih kuat untuk mengaris kertas, menoktah makna,serta mewarna kanvas...
aku sedang berkarya, selamanya kan berkarya...

mokasi banyak arvonceda..