Catatan Usang Antropolog Muda

Duduk, Berdiri dan Bekerja Bersama
Banyak hal baru di sekitar kita, kadang kita lengah dan tak ambil peduli dengan semua itu. Berbagai hal baru yang datang tersebut, pada dasarnya datang tidak hanya datang tanpa maksud apa-apa. Berbagai kepentingan termuat di dalamnya. Sebagian kadang tanpa kita sadari datang dengan berbagai motif, mulai dari ekonomi, sosial, politik, bahkan budaya, yang kadang berdampak negatif. Mungkin efeknya tidak langsung kita rasakan pada masa kita. Bagaimana dengan generasi setelah kita ?.

Beberapa tahun yang lalu ketika penulis masih berstatus mahasiswa. Ketika itu kami sedang belajar mata kuliah Antropologi Ekonomi, dosen kami kemudian bercerita tentang sebuah fenomena yang terjadi beberapa waktu lalu, dimana masyarakat adat dihebohkan oleh sebuah media promosi. Cara dia menyampaikan cerita tersebut cukup menarik perhatian kami, analisanya sedikit nyeleneh, namun mampu menyegarkan pikiran dan mengingatkan kami kembali pada apa-apa yang pernah kami pelajari. Ketika itu sebuah papan reklame berukuran raksasa dipasang di sebuah jalan utama kota Padang. Setelah papan reklamen tersebut terpasang, beberapa hari, mereka-mereka yang bertugas sebagai “penjaga adat” Minangkabau seperti kebakaran jenggot. Mereka sibuk mengkritik dan menuntut agar papan reklame tersebut segera dibuka dan tidak boleh dipajang dimanapun. Pasalnya di papan tersebut terpampang gambar seorang gadih Minang mengenakan baju adat yang dipadukan dengan celana jeans dengan merek terkenal. Berbagai komentar dan gugaman kecil mulai memenuhi ruangan ketika ia menyampaikan cerita tersebut. Ada yang menanggapi dengan serius dan ada juga dengan gurauan. Dosen kami tersebut kemudian menyampaikan komentar-komentar dan analisanya. Tidak penting seperti apa kongkrit analisanya, yang jelas ia telah memberikan kami pengetahuan tentang seperti apa melihat sebuah fenomena.
Fenomena di atas hanyalah salah satu dari sekian banyak permasalahan yang terjadi di sekitar kita. Ibarat air yang terus mengalir, tanpa henti masalah tersebut datang silih berganti. Terus merembes ke setiap celah yang ia lalui. Berbagai bentuk “bendungan” telah coba dibangun. Mulai dari “bendungan” yang asal-asal jadi sampai “bendungan” yang dibangun dengan berbagai teori. Namun sayangnya tak satupun yang mampu menghambat apalagi menghentikannya.
Banyak hal baru di sekitar kita, kadang kita lengah dan tak ambil peduli dengan semua itu. Berbagai hal baru yang datang tersebut, pada dasarnya datang tidak hanya datang tanpa maksud apa-apa. Berbagai kepentingan termuat di dalamnya. Sebagian kadang tanpa kita sadari datang dengan berbagai motif, mulai dari ekonomi, sosial, politik, bahkan budaya, yang kadang berdampak negatif. Mungkin efeknya tidak langsung kita rasakan pada masa kita. Bagaimana dengan generasi setelah kita ?. Coba kita lihat fenomena yang berkembang saat sekarang. Para orang tua marah melihat berbagai tingkah laku pemuda dan remaja jaman sekarang yang tidak lagi sesuai dengan adat, di sana-sini pelanggaran terhadap norma-norma menjadi hal yang biasa. Anak pejabat sibuk dengan memamerkan barang-barang orang tuanya, anak pengusaha sibuk berburu barang-barang mewah, anak gadis seorang panghulu jalan dengan balutan busana yang minim dan super ketat, dan lain sebagainya. Lalu para orang tua dengan mudahnya bicara kalau anak-anak sekarang tidak beradat, tidak tahu diri, dan berbagai ungkapan yang intinya memojokkan posisi generasi muda mereka.
Semua tentunya tidak terjadi begitu saja, yang jelas pasti ada sebab yang melatar belakangi semua itu sehingga fenomena itu membudaya di masyarakat. Generasi muda tentu tidak mau di persalahkan begitu saja. Dalam ilmu sosial dinyatakan bahwa kebudayaan itu terbentuk karena dibiasakan, kebiasaan-kebiasaan itu kemudian terpolakan dan akhirnya membentuk sebuah budaya. Dalam teori yang lain juga dijelaskan bahwa, memang pada awalnya kebiasaan tersebut merupakan miliki beberapa orang, namun setelah melalui proses sosialisasi dan mendapat kesepakatan bersama maka kebiasaan tersebut menjadi milik bersama dan untuk selanjutnya menjadi kebudayaan masyarakat yang bersangkutan. Artinya disini, apa yang terjadi pada generasi muda saat sekarang merupakan produk dari masa lalu (para orang tua).
Ketika para orang tua di tuding sebagai “penggagas”, sebagian mereka malah berdalih kalau mereka sama sekali tidak pernah ikut campur apalagi bersinggungan dengan berbagai hal yang mengakibatkan para remaja sekarang lari dari tatanan adat dan norma. Padahal ketidak pedulian mereka di masa lalu terhadap berbagai hal itulah yang mengakibatkan anak-anak mereka menjadi “robot/ boneka” yang berjalan tanpa mempedulikan pandangan orang-orang di sekitarnya.
Lalu kalau begitu generasi bangsa kita sudah mengalami kemunduran (decadence) dong ?.Tidak juga, hanya sebagian (contohnya kita yang memanfaatkan internet untuk mempromosikan cara pandang kita, hehehe...). Kalau begitu biarkan saja, selama itu tidak mengganggu orang lain. Tidak bisa juga begitu, kita harus melakukan perbaikan agar yang sebagian yang tidak baik itu dapat menjadi baik dan yang baik semakin baik. Lalu apa yang harus kita lakukan sekarang ?. Apakah kita harus memutuskan untuk tidak menerima kedatangan segala sesuatu yang punya kemungkinan merusak tersebut ?, kalau menurut para antropolog jawabnya jelas "tidak" (narsis juga gue ya, hahaha ..). Kita butuh semua itu tetap ada disekitar kita untuk kita pelajari. Mungkin ada sesuatu yang baik yang dapat kita manfaatkan.
Konkritnya untuk mengkaji lebih dalam tentang berbagai hal itu kita harus melakukannya bersama-sama. Kita harus duduk bersama untuk membahasnya, ada kaum adat dan kaum agama, ada para cadiak pandai, ada pihak pemerintah, ada juga bundo kanduang dan kaum muda. Kita bisa menjaring berbagai pemikiran yang dapat kita rumuskan dan kita satukan menjadi sebuah kebijakan untuk disepakati.
Mungkin terdengar seperti orang bodoh saat penulis mengusulkan jalan keluar ini. “Duduk bersama” itu sudah sering dilakukan, namun kondisi ini masih terus berlangsung bahkan semakin menyebar ke berbagai daerah. Artinya ada yang kurang, mungkin karena kita terlalu sering “duduk bersama” kita lupa untuk berdiri bersama. Bagaimana kalau sekarang kita berdiri bersama-sama. Tapi pertanyaannya, apakah kalau berdiri bersama-sama kita tidak hanya akan berdiri saja sambil bicara dan menyembunyikan tangan di belakang pantat atau di dalam saku celana. Baiklah mungkin kongkritnya kita harus duduk bersama, berdiri bersama, dan melakukannya bersama-sama (terlibat langsung di dalamnya).
Semua itu sebenarnya juga sedah dilakukan, tapi kondisinya tetap saja seperti itu, malah bertambah parah. Lalu apa lagi yang harus kita lakukan, apalagi yang kurang dari semua yang dilakukan di atas. Kita sudah duduk bersama, berdiri bersama, bekerja bersama, tapi apakah itu tidak hanya sebuah simbolis ?, upaya manipulasi massa yang terus dibentuk dan dibangun tanpa kita sadari kita telah melakukannya. Yap !, hampir sebagian besar yang kita lakukan hanyalah sebuah tindakan simbolis, kita tidak pernah benar-benar terlibat dalam apa yang telah kita pikirkan dan apa yang telah kita lakukan. Peletakan batu pertama, peninjauan program mata pelajaran Budaya dan Adat Daerah di sekolah-sekolah, penyerahan bantuan bencana alam, dan lain sebagainya. Sebagian besar hanya dilakukan secara simbolis, sekedar untuk memperlihatkan kepada masyarakat aku telah melaksanakan tugasku sebagai mahkluk sosial. Kita tidak pernah benar-benar melakukan hal tesebut, merasakan dan menyentuhnya lebih mendasar dari permasalahan itu sebenarnya.
Masyarakat butuh seorang figur yang mau turun langsung menyentuh “penyakit” mereka. masyarakat butuh figur yang mau merasakan apa yang mereka rasakan. Saat membaca tulisan ini mungkin para publik figur di daerah ini akan tertawa dan berkata ; “mungkin anda tidak tahu, jauh sebelum saya menjadi seperti ini, saya telah banyak melakukan hal-hal yang seperti itu”. Permasalahannya bukan apakah dulu saudara pernah melakukannya atau tidak. Permasalahannya, sekarang saat saudara menjadi seorang publik figur kami butuh anda memberikan contoh dan sedapat mungkin harus lebih dari yang dulu pernah saudara lakukan. Penulis yakin semua akan lebih meyentuh apabila seorang publik figur mau turun langsung melakukan berbagai hal tersebut, tidak hanya simbolik.
Sebuah fenomena yang berkembang di masyarakat kembali menghadapkan kita pada posisi yang sulit saat kita mencoba untuk melakukan apa yang ideal menurut penulis di atas. Masalah kebiasaan yang kemudian tanpa kita sadari menjadi budaya kita. Dimana saat seorang figur turun ke lapangan ada begitu banyak pengikut dan pengawalnya yang juga turun ke lapangan. Saat seorang figur bertindak “mereka” mulai berebutan untuk menggantikan apa yang dikerjakan oleh sang figur. “Mereka” bangga apabila bisa memegang cangkul yang semula dipegang oleh sang figur. Ada semacam prestice bagi mereka kalau mereka berhasil melakukan hal tersebut. Ada semacam budaya tidak tega melihat orang yang diangap figur bekerja atau turun tangan langsung menyentuh “sesuatu” tersebut.
Kalau begitu permasalahannya tidak hanya dari sang figur. Orang-orang di sekitarnya juga tanpa sadar membentuk semacam konsep idealnya seorang figur. Begitu banyak permasalahan yang harus benahi dan selesaikan. Tentunya kita tidak hanya memikirkan kondisi kita saat sekarang, kita harus terus bergerak ke depan sambil terus membenahi diri. Artinya kita harus “duduk besama-sama” memikirkan apa yang terbaik yang harus kita lakukan ke depannya nanti.
Artinya kita harus duduk bersama. “Hei, kita harus duduk lagi” ?. “Ha...ha... sepertinya begitu “ !.

Vony Ponolia
081374403496




Komentar

Anonim mengatakan…
Makasih mas telah berkunjung di blog saya.
Sekalian nih sy mo nanya.
Mas pernah dengar ga tentang penggalian bersejarah Majapahit yang bermasalah? saya ingin tau lebih jauh tentang itu. mohon bantuannya.
Silaturahmi jangan putus ya mas.
Trims
Anonim mengatakan…
bahan ka:

http://hilman.web.id/posting.php?id=113

bos?
kalau ado tulis di komen sia nan dak tasabuik. wassalam
Anonim mengatakan…
oh salam untuk master revinaldi ya, apa kabar. apa gak ada acara kumpul2 gaek minangcrew. buliah baok anak2 ahehehehe.
boynedihasan mengatakan…
...pernah seorang kawan bertanya; sejauh mana ilmu Antropologi mempengaruhi dan bertanggung jawab atas proses kelanjutan hidupmu, terutama berkaitan dengan jenis pekerjaan yang sedang kamu geluti? lebih terutama lagi sejauh mana ilmu antropologi membantumu mendapatkan jabatan di tempat kamu bekerja, dan sangat lebih terutama lagi sejauh mana ilmu antroplogi memberikan rahasia maupun trik dalam upaya memperkaya diri dengan limpahan materi-dengan kata lain sejauh mana uang yang dapat kamu kumpulkan...?

...jawabku," Ilmu Antropologi jadikanku terseok, merangkak, kemudian berdiri, dan dapat bernafas.. Lebih terangnya Ilmu Antropologi jadikanku tidak berpikir bahwa materi bukan segalanya, dan intinya Ilmu Antropologi jadikan pemikiranku tuan atas tindakanku..."
Hellen Werinusa mengatakan…
saya tertarik dengan istilah dalam postingan ini: mungkin karena kita terlalu sering “duduk bersama” kita lupa untuk berdiri bersama.
Cara ini yang memang harus kita sama-sama benahi.. apabila kita ingin mencapai suatu perbaikan ke arah lebih baik..

Salut ama tulisannya :)
Salam balik mas.. sekalian saya add blog ini ya :)