Tanah (Pola Pewarisan di Minangkabau)

Tulisan ini berawal dari pertanyaan seorang teman yang kuliah di salah satu perguruan tinggi di Yogyakarta jurusan Notariat. Ketika itu datang ke Padang dan bertanya pada pada penulis tentang hukum waris di Minangkabau (khususnya masalah tanah). Beberapa hari kemudian seorang teman penulis yang bekerja sebagai wartawan di salah satu surat kabar terkemuka di kota Padang mengajak penulis untuk berdiskusi seputar permasalahan tanah di kota Padang, katanya ia mendapat tugas dari kantor untuk meliput beberapa berita seputar permasalahan tanah. Dua kejadian ini akhirnya membawa penulis untuk membuat tulisan ini. Tulisan ini kalau penulis boleh bilang lebih mengarah pada masalah sistem pewarisan tanah di Minangkabau.
Sejak Gunung Marapi sebesar telur itik, sampai telur itik sebesar Gunung Marapi, pada dasarnya masalah pewarisan tanah telah di atur sedemikian rupa. Tujuannya jelas agar tidak ada permasalahan yang timbul di kemudian hari antara anak dan kemenakan. Aturan adat ini adalah “dari niniak turun ka mamak, dari mamak ka kamanakan”. Artinya seseorang ayah tidak dapat mewariskan kekayaan miliknya pada anaknya. Apa yang ia “miliki” pada hari ini harus ia wariskan kepada kemenakannya di kemudian hari. Kemenakan yang dimaksud di sini adalah kaum kerabatnya (dalam garis keturunan matrilineal). Kalau begitu anak tidak mendapat apa-apa ?. Bukan begitu, seorang anak akan tetap mendapatkan bagiannya. Pembagian-pembagian ini dilakukan dengan cara tertentu. Karena walau bagaimanapun juga dalam harta seseorang Minangkabau itu tetap ada hak dari kemenakannya. Lebih jelasnya, yang dimaksud dengan “dari niniak turun ka mamak, dari mamak ka kamanakan” disini adalah bahwa pada akhirnya semua harta yang di miliki, baik itu harta pusaka tinggi maupun harta pusaka rendah akhirnya bermuara pada kemenakan (kaum kerabat pemilik harta).
Satu hal yang harus kembali di sadari oleh kita bersama (khususnya masyarakat Minangkabau), bahwasanya adat Minangkabau yang matrilineal menggambarkan. Bahwa seorang anak di besarkan dalam lingkungan kaum kerabat ibunya. Ibarat dalam sebuah usaha, perkawinan adalah penggabungan dua modal usaha. Seorang anak adalah modal dari pihak kaum kerabatnya. Saat usaha dikembangkan dan membuahkan hasil, pada dasarnya tentu ada semacam kesepakatan untuk pembagian hasil usaha tersebut. Pada masyarakat adat Minangkabau pembagian hasil usaha ini di atur sedemikian rupa oleh adat. Laki-laki yang telah berrumah tangga di Minangkabau pada dasarnya diharapkan dapat bekerja di tempat kaum kerabat istrinya (di samping ia juga bekerja di tempat kerabatnya sendiri). Mungkin berkat kerja kerasnya ia bisa mengembangkan usaha yang di miliki oleh kaum kerabat istrinya tersebut. Tapi kita tahu kalau ia tidak bekerja sendiri, ada istrinya atau bahkan juga anak-anaknya. Dan kita tahu kalau istri dan anak-anaknya adalah modal dari kaum kerabat istrinya. Artinya dengan demikian, bila sampai waktunya tentu hasil dari usahanya tersebut harus dibagi (istrinya, anak-anaknya dan kemenakannya). Pembagian ini seperti yang telah penulis tuliskan di atas telah di atur dalam adat. Artinya di sini ada harta yang harus diberikan pada kaum kerabatnya (kemenakannya) sendiri sebagai kelompok yang memiliki dirinya (pemilik modal). Istri dan anak-anaknya pada akhirnya juga membawa hasil pembagian tersebut kepada kaum kerabat mereka.
Bagian yang di dapat oleh sang istri mungkin dapat kita terima kenapa harus di serahkan pada kaum kerabatnya. Lalu bagian si anak bagaimana ?, kenapa juga harus di serahkan kepada kaum kerabat ibunya. Walau mungkin pertanyaan ini dapat dijawab dengan sistem garis keturunan (matrilineal), penulis akan mencoba sedikit memberikan alasan lain. Bagian si anak disini kita lihat sebagai tabungannya di masa yang akan datang. Coba kita renungkan sejenak. Seperti yang telah dijelaskan di atas, seorang anak di Minangkabau dibesarkan dalam lingkungan kerabat ibunya. Biaya untuk membesarkannya kemudian diambil dari tabungannya tersebut. Pertanyaannya, kalau begitu si anak tidak sepenuhnya dibiayai oleh kaum kerabat ibunya, ia dibesarkan dari hasil bagian yang ia terima dari ayahnya (bahkan mungkin bagian yang ia terima lebih besar dari biaya yang di keluarkan untuk membesarkan dirinya), lalu kenapa ia dikatakan sebagai modal dari kaum kerabatnya ?. Sebuah pertanyaan singkat dan butuh perenungan yang dalam harus kita pertanyakan dalam diri kita. Apakah harta pembagian itu cukup untuk membesarkan seseorang ?. Tentunya ini bukan hanya masalah jumlah uang yang dihabiskan, tapi disini juga menyangkut masalah perasaan, mental spiritual (semua yang berhubungan dengan masalah psikologis). Sikap, perangai atau tingkah-polah si anak yang harus di hadapi oleh kerabat ibunya selama membesarkan si anak, apakah dapat di bayar dengan sejumlah harta ?. Jujur saja, semua kekayaan itu tentunya tidak akan pernah cukup untuk membayar semua yang berhubungan dengan perasaan tersebut. Oleh karena itulah makanya seorang Minangkabau adalah milik kaum kerabatnya, bukan milik anak-istrinya. Dengan demikian maka harta pembagian yang diperoleh oleh seorang anak juga dimasukkan ke dalam harta milik kerabat ibunya. Dan di kemudian hari juga diturunkan kepada kemenakannya.
Bagaimana kalau seseorang tidak memiliki kemenakan (garis keturunannya punah), apakah bagian tersebut dapat dimiliki oleh anak dan istrinya ?. Secara tegas jawabnya adalah; tidak !. Harta bagiannya harus diserahkan kepada kaum kerabatnya yang lebih luas. Garis keturunan harus ditarik ke atas satu generasi. Di sana akan di lihat siapa yang berhak atas bagian tersebut. Kalau setelah di tarik ke atas satu generasi tetap tidak ada ?. Tarik lagi ke atas satu generasi, kalau tidak juga, tarik kembali satu generasi. Kalau sampai pada garis keturunan yang paling tinggi tidak juga di temui orang yang berhak atas bagian tersebut, bagaimana ?. Disinilah nagari mengambil perannya. Nagari berhak mengusai dan kemudian mengelola bagian tersebut untuk kepentingan nagari. Sampai pada suatu saat nanti ada orang yang datang dan mengatakan bahwa ia berhak atas bagian tersebut. Atau nagari mencari tahu siapa orang yang berhak atas bagian tersebut (“nagari yang “bijak” biasanya akan mengambil tindakan tersebut”).
Pada seorang cadiak pandai di sebuah nagari pernah penulis tanya, “kalau boleh tahu mamak, seberapa banyak harta yang mamak miliki ?”. Ia sama sekali tidak menjawab apa yang penulis tanyakan. Tapi ia menjawab dengan menggambarkan bagaimana seorang Minangkabau ;. “Pada dasarnya seorang Minangkabau tidak pernah memiliki apa-apa. Seorang Minangkabau hanya dititipi sejumlah waris yang bukan miliknya. Seorang mamak atau seorang panghulu diberi gelar kebesaran namun ia tidak dapat memberikannya kepada anaknya, ia harus memberikan gelar tersebut kepada anak orang lain (anak kerabat perempuannya). Mande atau bundo kanduang diberi harta kekayaan, tapi itu untuk menghidupi seluruh kaumnya, ia hanya mengambil sedikit hasilnya dan lebihnya untuk orang-orang segaris keturunan dengannya. Bahkan Raja Alam Minangkabau tidak berhak sejengkalpun atas tanah Minangkabau ini. Apapun yang ada di alam ini adalah milik alam dan bila sampai saatnya harus di kembalikan pada alam. Kita diperbolehkan untuk mengambil hasilnya, tapi tidak berhak untuk memilikinya. Setiap segala sesuatu tentu ada pemiliknya, tapi tidak di antara kita yang ada di sini atau mereka yang ada di sana”. Penulis berpikir, kalau demikian kenapa harta warisan menjadi permasalahan yang cukup besar dan tak berkesudahan di bumi Minangkabau ini ?. Apakah semua yang dituliskan tambo alam Minangkabau, dan tuturan mamak tersebut hanyalah mimpi-mimpi sebagian orang yang tak pernah terwujud, dan kemudian direkayasa sedemikian mungkin dan pada akhirnya dikatakan seperti yang diceritakan oleh tambo ?.
Baiklah, kalau begitu apa hubungannya penjelasan yang panjang lebar di atas dengan permasalahan tanah yang seharusnya menjadi topik utama tulisan ini. Penulis menyarankan pada pembaca, baca kembali tulisan ini dan ganti setiap kata yang bercetak tebal dengan kata tanah. Selamat membaca !.


Illustrasi Singkat : Tanah (Pola pewarisan di Minangkabau)
Pagi itu empat orang laki-laki tengah duduk di bawah sebuah pohon beringin dalam bentuk lingkaran kecil. Mereka adalah para panghulu. Mereka terlihat sedang membicarakan pembagian daerah yang masing-masing mereka akan kuasai. Di sekitar itu juga terlihat beberapa orang laki-laki dan perempuan, kira-kira jumlah mereka semua ada 20 orang (24 dengan para panghulu). Mereka dengan tenang mendengarkan pembicaraan para panghulu tersebut. Beberapa hari yang lalu sekelompok orang ini bersama-sama telah membuka beberapa lahan baru. Setelah di dapat kesepakatan, mereka kemudian berpencar ke empat arah mata angin dalam bentuk kelompok-kelompok kecil. Sesampainya kelompok-kelompok kecil tersebut di lokasi masing-masing, mereka mulai membenahi kawasan di sekitar lahan tersebut. Mereka mulai mendirikan rumah, surau, membuat sawah, ladang, dan memancang sekitar lahan dengan kayu sebagai tanda kalau tempat tersebut sudah ada pemiliknya.
Setelah semua selesai, mereka mulai melakukan perluasan lahan. Perluasan lahan yang mereka lakukan sesuai dengan kesepakatan empat panghulu, mengarah ke satu titik, yaitu arah pohon beringin dimana mereka membicarakan pembagian lahan ketika itu. Sampai pada akhirnya mereka bertemu di satu titik yang telah di sepakati. Kembali ke empat orang datuak tersebut duduk bersama membicarakan batas-batas wilayah masing-masing. Setelah beberapa tahun kemudian mereka yang awalnya hanya 24 orang tersebut bertambah dan terus bertambah. Dengan bertambahnya jumlah mereka, maka lahan yang berhasil mereka buka juga bertambah luas. Kemudian mereka menjadikan tempat tersebut sebuah nagari (setelah syarat-syarat untuk mendirikan nagari terpenuhi).
Suatu hari datang beberapa orang sepasukuan (suku A1) ke nagari tersebut. Mereka menyampaikan niat mereka untuk menetap di nagari itu. Mereka ingin mengaku mamak kepada salah seorang panghulu yang ada. Mufakatlah ke empat orang panghulu tersebut, menentukan siapakah yang paling dekat hubungan kekerabatan mereka dengan suku A1 tersebut. Mereka mufakat dengan menggunakan hukum “raso jo pariso”. Setelah di dapat kata mufakat, ternyata datuak A yang lebih dekat hubungannya dengan suku A1 tersebut. Sebagai seorang panghulu yang dibantaikan kerbau pada saat pengangkatan panghulunya, tentu datuak tersebut harus memiliki salah satu dari tiga sifat baik seekor kerbau. Datuak A kemudian menyerahkan sebagian lahannya pada suku A1 tersebut (untuk selanjutnya cerita ini lebih difokuskan pada datuak A dan fenomenanya). Maka mulailah suku A1 mengolah lahan tersebut, mereka mulai membuat apa saja (sarana dan prasarana)yang dirasa perlu untuk mereka. Lahan mereka bertambah dan mereka beranak-pinak di lahan yang diberikan oleh datuak A.
Beberapa tahun berlalu datang lagi sekelompok orang (suku A2) dan juga berniat mengaku mamak pada datuak A. Dengan segala kerelaan hati datuak A kembali memberikan sebagian lahan miliknya untuk di usahakan oleh suku A2 tersebut, tentunya setelah membicarakannya terlebih dahulu dengan para panghulu yang tiganya lagi. Luas lahan yang mereka dapat tidak sama dan lebih kecil dibanding suku A1 yang datang lebih dahulu, karena lahan datuak A tidak seluas pada awalnya. Selain luas lahan yang di dapat tidak sama dengan suku A1, jaraknya pun juga berbeda. Suku A1 jarak lahan mereka dengan lahan datuak A lebih dekat dibandingkan jarak lahan sukuA2 dengan datuak A. Perbedaan-perbedaan tersebut pada dasarnya dibuat sedemikian rupa, tujuannya adalah untuk sistem pewarisan di masa yang akan datang. Suku A2 kemudian mengolah lahan tersebut dan mulai beranak-pinak di tempat yang telah diberikan kepadanya oleh datuak A.
Waktu terus berlalu, beberapa generasi telah di lewati. Sampai akhirnya suku A1 putus garis keturunannya, mereka punah. Lahan yang semula dimiliki oleh suku A1 harus dikembalikan kepada datuak A. Ternyata kemalangan yang serupa telah lebih dahulu menimpa datuak A, garis keturunannya telah lama punah. Akhirnya lahan milik suku A1 di serahkan pada suku A2. Dengan demikian semua lahan yang pada awalnya adalah milik datuak A akhirnya di kuasai seluruhnya oleh suku A2. Beberapa generasi kemudian suku A2 juga mengalami hal sama seperti datuak A dan suku A1. Mereka juga mengalami kepunahan, harta warisan mereka tidak ada lagi yang akan menjaga. Akhirnya keturunan datuak yang tiga lagi mengadakan mufakat, mereka mulai mengkaji silsilah mengambang ranji keturunan. Melihat dengan hukum “raso jo pariso”, dan menemukan kalau keturunan datuak B lebih berhak atas harta warisan tersebut.

Ket :
Nama : Vony Ponolia
Pendidikan : Sarjana Antropologi Universitas Andalas
Telp : 0813-74-403496



Komentar