ANTARA HATI, PIKIRAN DAN KEINGINAN

Kadang Kala Sebagai Manusia Kita Terpaksa Membuang Ego Dan Harga Diri Kita,
Demi Tercapainya Sebuah Tujuan
. (Wartel, 13 Oktober 2002)

Sore itu Andi dan Edo tengah duduk di depan televisi. Di Jakarta masa mengamuk dan menghancurkan sebuah rumah yang di sinyalir sebagai pusat penyebaran aliran kepercayaan.
“ Bodoh sekali mereka, bertindak tanpa akal sehat, menghakimi orang lain tanpa melihat siapa diri mereka”. Tiba-tiba Edo menanggapi berita yang sedang di siarkan oleh salah satu televisi swasta nasional.
“Aku pikir respon yang wajar, mereka bertindak karena yang jelas aliran tersebut menyimpang dari yang seharusnya”. Andi mencoba memberikan pandangannya dan membenarkan apa yang telah dilakukan oleh masa di Jakarta tersebut.
“Letak salahnya dimana ?, aku pikir setiap orang berhak untuk melakukan apa yang menurut mereka benar, ini masalah idealisme men !, coba berfikir sedikit terbuka dong !”.
“Nggak bisa begitu kawan, yang jelas aliran tersebut tidak sesuai dengan ideologi kebanyakan orang, dan lagian mereka tidak minta izin terlebih dahulu pada orang yang lebih berkompeten dalam hal ini. Kau tahu di beberapa negara aliran kepercayaan ini dinyatakan ilegal bahkan para pendukungnya pernah di usir dari negara itu. Melihat pada fenomena itu saja kita sudah dapat menarik kesimpulan kalau aliran itu meresahkan. Nah !, sekarang mereka mencoba untuk hidup di Indonesia, apakah mereka tidak pernah intropeksi diri, kalau aliran yang mereka bawa tidak dapat diterima orang begitu saja, seharusnya mereka yang harus intropeksi diri”.
“Oke kalau begitu, tapi yang jelas negara kitakan negara hukum, ada yang lebih berhak mengurus masalah ini. Mengapa mereka yang harus turun tangan, apakah mereka juga tidak berfikir kalau aksi yang mereka lakukan akan lebih meruwetkan situasi, kerjakan saja apa yang menjadi kerjaan kita, bagaimana ?”. Edo berdiri dan berjalan ke belakang menuju dapur. Dari dapur ia kembali terdengar berteriak.
“Seperti apa sih sebenarnya moral bangsa kita ini ?, bertindak seakanakan mereka adalah orang-orang yang benar”. Sesaat kemudian Edo muncul kembali di pintu sambil membawa secangkir kopi dan sebotol gula pasir. “Seharusnya mereka memperbaiki diri mereka , anak-anak mereka dan orang-orang yang ada di dalam kelompok mereka sendiri. Kebanyakan para koruptor itu adalah hasil didikan mereka, kamu setujukan dengan apa yang aku ucapkan ?”.
“Iya sih”. Andi menjawab dengan sedikit ragu untuk sepakat terlalu jauh dengan sahabatnya tersebut. “Tapi ini masalahnya menyangkut kepentingan orang banya, jadi sudah selayaknyalah orang-orang itu membela kepentingan umum tersebut”.
“Apapun alasannya, aku tetap tidak setuju dengan tindakan mereka yang membabi buta itu. kau bilang kepentingan umum, kau tahu apa budaya bangsa kita yang menjadi kebanggaan Indonesia Raya ini ?”. Edo memutus kalimatnya, ia tahu apa yang ada dalam otak sahabatnya tidak akan jauh berbeda dengan apa yang ia pikirkan, karena pembicaraan-pembicaraan seperti ini sudah sering mereka alami setiap harinya saat menikmati kopi pagi, siang maupun malam. Andi yang tahu apa yang akan disampaikan oleh sahabatnya hanya diam menunggu argumen-argumen selanjutnya yang akan dibangun oleh sahabatnya tersebut.

“Gotong-royong, kerjasama”. “Musyawarah-mufakat”. Andi mencoba memotong kalimat sahabaynya.
“Iya, iya, apun namanya itu. kau lihat fenomena yang ada di sekitar kita saja, beri gula kopimu dulu nanti keburu dingin !”. Edo memutus sedikit pembicaraannya dan menyuruh sahabatnya umtuk menyeduh kopinya. Andi kemudian membuka tutup botol gula dan menyendok gula secukupnya. Setelah Andi mengaduk kopinya, ia kembali sibuk menonton acara televisi. Tanpa melihat ke arah Edo, Andi berkata.
“Ya, aku tahu, kau pasti akan bilang apa yang pernah kita bicarakan kemarenkan ?”.
Masih dengan emosi dan semangat yang menggebu-gebu Edo kembali bicara.
“Ketika ada pengumuman di kelurahan atau di mushalla, “Besok Kita Goro Bersama Membersihkan Jalan Lingkar”, tak satupun yang datang, kalaupun datang, duduk sebentar, pegang cangkul sebentar, ambil absen, kemudian hilang entah kemana sebelum semua pekerjaan selesai. Tapi coba kalau di ajak berkelahi, tawuran, mereka akan saling bahu-membahu menghancurkan dan menyelesaikan dengan bangga kebodohan mereka itu. Kau ingat, hei ! coba lihat kesini, hei...hei...!. Merasa tidak diperhatikan oleh sahabatnya Edo protes.
“Iya.. aku dengar kok ngomong aja”. Masih tanpa menoleh sedikitpun Andi menanggapi protes dari sahabatnya.
“Kau ingat, kejadian bulan Mei 1998 dahulu, saat-saat terakhir kita di SMA, kau ingat, hampir seluruh pribumi bersatu bahu-membahu menghancurkan rumah-rumah dan perusahaan-perusahaan milik etnis Cina. Amoy-amoy di culik, diperkosa, bahkan sebagian ada yang dibunuh, mereka melakukannya dengan semangat gotong-royong men !, semangat kerjasama, cuuih !. Kebenciannya akan bangsanya sendiri akhirnya lahir dalam bentuk tindakan yang ekspresif. Setelah emosinya sedikit reda ia kembali bicara. “Gotong-royong Ndi !, gotong-royong !, untuk kejahatan mereka berkerjasama, dan ..dan sampai tuntas, kau tahu itu ?”. Edo tak tahu lagi apa yang akan ia sampaikan. Andi terus saja menonton televisi, namun jelas pikirannya terganggu dengan apa yang dibicarakan oleh kawannya tersebut. Ia terlihat menonton namun pikirannya terbang jauh.
“Ada hal lain yang kau tak mengerti kawan”.
“Apa ?, uang !, kedudukan !, masalah dapur yang harus berasap setiap harinya ?. Duniawi men !”.
“Kau mungkin tidak terbentur masalah itu sekarang, suatu saat nanti, saat kau harus hidup di atas kedua kakimu sendiri, saat semua orang pergi meninggalkanmu, saat kau telah punya tanggung jawab, saat kau harus menghidupi beberapa orang dari peluh keringatmu, aku yakin kau akan paham dan tak akan lagi bicara seperti saat sekarang”. Andi bicara dengan nada suara yang lemah. Apa yang diucapkannya, sebagian adalah apa yang dirasakannya saat itu. Entah mengapa, saat bicara Andi merasa pundaknya sedang diisi beban yang sangat berat. Pikirannya kacau, ia meraih remote dan menggonta-ganti chanel televisi. Kegalauan itu terlihat jelas terlihat, tak ada satupun acara yang di tayangkan berbagai stasiun televisi itu menarik baginya. Edo menangkap sinyal tersebut. Ia membiarkan kawannya yang bertindak tak karuan itu. meminum kopi miliknya dan mengambil sebatang rokok, membakarnya dan menghisap asapnya.
“Ndi, kau pernah mengalami kesulitan ongkos untuk ke kampus, kau pernah mengais asbak dan merangkai beberapa puntung rokok agar dapat kau hisap ?. Hei, coba lihat aku !, kau pernah mengalami semua itu ?”. Andi menatap sahabatnya, diam. “Aku pernah mengalami itu kawan”. Andi berkata dalam hati.
“Aku sampai sekarang kadang masih mengalami dan menjalani kondisi seperti itu. Bahkan saat aku ujian kompre kau tahu, aku bingung, tak ada sepersenpun uang di kantongku, di balik bantal, di bawah tempat tidur, ku bongkar semua tapi tak satu rupiahpun aku temui. Aku diam, duduk, pasrah, tiba-tiba Rudi datang dengan motornya, akhirnya aku bisa ke kampus untuk ujian. Aku sudah pernah melalui saat-saat tersulit orang-orang seusia kita kawan an aku tak pernah risau akan apa yang terjadi pada diriku, aku percaya takdir, aku yakin suatu saat nanti aku akan jadi pemenang dalam hidupku ini”.
Andi hanya diam, menatap sahabatnya tersebut. Dalam hati ia berkata. “Ada bagian cerita yang kau manipulasi kawan, Rudi tak akan mungkin datang dengan sendirinya tanpa kau minta. Ia tahu kalau kau ujian hari ini, kalau ingin bertemu engkau ia pasti akan langsung ke kampus. Kau bohong pada beberapa bagian cerita padaku kawan. Tapi biarlah, itu bukan urusanku”.
“Masih belum bisa meninggalkan masalah uang kawan ?”. Edo menepuk paha sahabatnya dengan senyum kemenangan yang ia bangun sedari tadi.
“Suatu saat nanti, saat kucuran dana dihentikan oleh saudara-saudaramu, saat kau tak lagi dapat meminta nasi pada kaum ibumu, saat teman-temanmu sibuk dengan pekerjaan mereka, aku yakin kau akan berobah dari kesombongan yang kau ceritakan saat ini”. Andi bicara sedikit lebih terarah, agar Edo paham apa yang ada dalam pikirannya.
“Aku berusaha untuk tetap berada pada jalan yang aku yakini kawan, dan aku berharap kau jadi orang yang mengingatkan aku akan hal itu”.
“Tidak. Aku tidak akan pernah mengingatkan dirimu. Seandainya kau berobah dari idealmu saat ini dan aku pikir itu baik bagimu, aku akan diam, dari jauh aku akan tersenyum bangga”.
“Aneh. Terserah”. Sambil mengangkat bahu, Edo mencoba menghargai pilihan sahabatnya tersebut.
Pembicaraan sore itu adalah pembicaraan yang telah berulang mungkin lebih dari seribu kali. Selalu saja begitu, selalu saja tanpa kesamaan pemikiran. Yang jelas mereka adalah sahabat dan sekaligus lawan yang saling mempengaruhi antara satu dengan yang lainnya sejak pertemuan tujuh tahun yang lalu.


Vony Ponolia
081374403496


Komentar

Anonim mengatakan…
Saya cenderung setuju sama Edo...
Kita seringkali menilai sesuatu dari sudut pandang dan kepentingan kita...

Sayangnya lagi kita seringkali memaksakan pikiran kita itu pada orang lain...

Kadang sulit bagi kita untuk emnerima perbedaan...

Salut kalau Edo dan Andi bisa terus bersahabat dengan perbedaannya masing-masing...

Cheers...