DAERAH PERBATASAN DALAM KONSTELASI PEROBAHAN KEBUDAYAAN

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang
    Keanekaragaman budaya suatu suku bangsa merupakan keuntungan sekaligus ancaman. Sebab budaya-budaya daerah merupakan salah satu kekayaan negara baik dari segi sosial dan ekonomi maupun kekuatan dalam membentuk suatu negara yang kuat. Namun bila tidak adanya saling pengertian, perlakuan tidak adil terhadap salah satu etnis baik oleh individu dari etnis lain maupun oleh penguasa, maka hal tersebut merupakan sumber utama terjadinya konflik antar suku bangsa yang pada akhirnya dapat mengakibatkan disintegrasi bangsa. Banyak contoh yang dapat kita lihat seperti kasus Ambon, Aceh, dan yang telah terjadi dapat kita lihat pada Timor-Timur.
    Daerah-daerah yang diperkirakan rawan konflik salah satunya adalah daerah perbatasan. Perbatasan baik secara administratif pemerintahan seperti batas negara atau provinsi/ kabupaten maupun perbatasan secara budaya. Dewasa ini konsep daerah perbatasan secara budaya dibandingkan dengan perbatasan secara administratif mulai kabur. Salah satu contoh adalah konsep budaya Minangkabau, menurut tambo kebudayaan Minangkabau meliputi wilayah provinsi Sumatera Barat, Muko-Muko di Bengkulu, Siak, Kampar, Indragiri, Batang Hari, sebagian daerah Jambi, dan juga Negri Sembilan di Malaysia. Namun karena pembatasan daerah secara administratif mulai di berlakukan maka hampi sebagian besar masyarakat Minangkabau tidak menyadari betapa luasnya daerah Minangkabau itu sebenarnya. Sebagian besar masyarakat Minangkabau saat ini hanya tahu kalau daerah mereka hanya sebatas Sumatera Barat. Padahal sebenarnya di dalam daerah Sumatera Barat juga terdapat daerah etnik lain seperti suku bangsa Mentawai di kepulauan Mentawai.
    Ada asumsi yang menyatakan bahwa apabila 2 kebudayaan saling berinteraksi khususnya di daerah perbatasan (dalam pengertian administratif), maka akan lahir semacam kepribadian baik dalam diri individu maupun kelompok sebuah rasa yang kemudian teraktualisasi dalam tindakan : pertama, orang-orang yang ada dikawasan tersebut akan saling mempertahankan etnisitasnya yang didorong oleh etnosentrisme yang berlebihan. Kondisi ini cendrung akan menimbulkan konflik antar suku bangsa. Kedua, mereka yang ada di dalam kawasan tersebut akan mencoba meminimalisir perbedaan-perbedaan antara kedua atau lebih budaya dengan cara saling menerima dan memberi unsur-unsur budaya masing-masing. Pada tingkatan yang lebih jauh, kondisi ini akan memunculkan budaya umum lokal sebagai acuan dalam berperilaku untuk menjembatani perbedaan tersebut.
    Menurut Parsudi Suparlan, ada 2 faktor yang harus diperhatikan dalam mengkaji budaya perbatasan, yaitu ;
        A. Faktor nilai budaya :
        - Identitas etnik
        - Kelestarian kesukubangsaan
        - Perubahan-perubahan yang terjadi
        - Permasalahan-permasalahan sebagai wujud dari masyarakat majemuk

    B. Proses sejarah yang memperlihatkan adanya kecendrungan kelompok etnik mengakibatkan kembalinya identitas kesuku bangsaannya untuk kepentingan terkait, pemakaian kembali identitas etnik lama untuk menerima apa adanya atau mencari sesuatu identitas etnik baru.
    Beberapa pendapat para ahli menyatakan bahwa suatu suku bangsa mampu mempertahankan budayanya dengan cara tidak menacuhkan suku bangsa tetangga dan faktor utama yang mampu mempertahankan budaya suatu suku bangsa adalah faktor isolasi geografis dan isolasi sosial. Barth membantah pendapat tersebut dengan memberikan dua pandangan ; pertama, batas-batas budaya dapat bertahan walaupun suku-suku tersebut saling berbaur. Dengan kata lain, adanya perbedaan antara etnik tidak di tentukan oleh tidak terjadinya pembauran, kontak dan tukar informasi, namun lebih disebabkan oleh adanya proses-proses sosial berupa pemisahan dan penyatuan, sehingga perbedaan kategori tetap dipertahankan walaupun terjadi pertukaran peran serta keanggotaan di antara unit-unit etnik dalam perjalanan hidup seseorang. Kedua, dapat ditemukan hubungan-hubungan sosial yang mantap, bertahan lama, dan penting antara 2 kelompok etnik yang berbeda, yang biasanya terjadi karena adanya status etnik yang terpecah dua (terdikotomisasi), interaksi yang demikian tidak akan mengakibatkan pembauran dengan perubahan budaya dan akulturasi.
    Untuk mengatasi beberapa kendala dalam menganalisa batas-batas etnik, yang perlu di perhatikan adalah ideologi etnik sebagai pembatas kelompok etnik seperti nama kelompok etnik, kepercayaan terhadap asal usul. Disamping itu karakteristik untuk membedakan dengan etnis lain seperti dialek bahasa, ekologi, kehidupan ekonomi (mode of subsistence), budaya material, organisasi sosial, agama, dan gaya hidup.
    Salah satu ekologi kehidupan ekonomi masyarakat adalah dengan adanya sistem pasar. Irwan Abdullah mengatakan bahwa pasar telah memperluas orientasi masyarakat dalam mobilitas sehingga batas-batas sosial-budaya selain meluas juga mengabur akibat berubahnya orientasi ruang dalam masyarakat. Hal ini menurut Suparlan, terutama karena pasar dan tempat-tempat umum dapat dilihat sebagai pranata dengan norma-norma dan nilai-nilai buday yang dilandasi oleh prinsip tawar-menawar secara terbuka dan suka rela di antara para pelaku yang saling berkepentingan.
    Karakteristik pembeda etnis seperti yang disampaikan oleh Levine dan Campbel tersebut, mengingat perkembangan dewasa ini, perlu kiranya diperhatikan dengan seksama karena akan ditemui beberapa unsur pembeda tersebut yang sama, mirip, atau memang berbeda sama sekali. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor ; 
        1. Mengaburnya batas-batas geografis yang disebabkan oleh mobilitas penduduk tidak hanya dalam rangka aktivitas yang cendrung terjadi melintasi batas-batas geografis, tetapi juga karena keterikatan orang terhadap fisik (geografis) semakin melemah. Dalam hal in loalitas terhadap daerah asal mulai runtuh karena orang akan mudah mengubah tempat tinggal untuk mencari kemungkinan-kemungkinan baru yang jauh lebih baik. Dalam konteks semacam ini sistem sistem penerangan yang dibangun dengan asumsi-asumsi batas geografis menjadi kurang relevan. Kelompok sasaran tidak dapat didefenisikan dari lokalitas tempat tinggal akibat tingginya mobilitas yang begitu tinggi dan loyalitas tempat yang begitu lemah. 
           2. Batas kebudayaan mulai menghilang, suatu proses yang berlangsung akibat faktor mobilitas dan akibat proses sosialisasi budaya yang berubah. Mobilitas yang padat menyebabkan landasan budaya seseorang menjadi sangat berbeda dengan sebelumnya sehingga budaya asal mulai tidak dikenal dengan baik yang berlangsung pada landasan kultural yang lain menyebabkan luasnya pengetahuan budaya dan hilangnya loyalitas tradisional. Simbol yang digunakan mulai berubah sehingga dibutuhkan simbol-simbol yang lebih komunikatif dalam penyampaian pesan yang dapat bersifat bersifat lintas etnis, kelompok, agama, dll. 
          3. Otonomi Individu dan kelompok yang semakin besar dalam mendapatkan pengesahan sosial politik. Hubungan-hubungan kekuasaan mulai berubah, khususnya dalam siklus hubungan society, statet, and market. Iandividu atau kelompok mulai memiliki hubungan yang lebi seimbang dengan negara sehingga fungsi kontrol masyarakat lebih dapat berfungsi, demikian pula dengan pasar dimana hak-hak konsumen lebih dapat di negosiasikan. 

2. Permasalahan 
    Berangkat dari uraian di atas, maka timbul suatu permasalahan yang ingin coba dibahas dalam makalah ini. Bagaimana bentuk perobahan yang terjadi di daerah perbatasan tersebut. Di dalam makalah ini akan coba melihat permasalahan tersebut di sebuah daerah di Sumatera Barat tepatnya Kecamatan Rao Mapattunggul Kabupaten Pasaman.


PEMBAHASAN

1. Sekilas Tentang Kabupaten Pasaman 
           Kabupaten Pasaman merupakan salah satu Kabupaten terluas di Privinsi Sumatera Barat. Dengan luas ± 7.835,40 Km2 dan merupakan jalur lintas Sumatera serta dilalui oleh garis khatulistiwa. Secara astronomis berada pada 990 10’ BT – 1000 22’ BT dan 00 55’ LU – 00 11’ LS. Secara administratif pemerintahan berbatasan dengan : sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Mandailing Natal Sumatera Utara, sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Agam, sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Kampar Riau, sebelah Barat berbatasan dengan Samudera Indonesia. 
      Nama Kabupaten Pasaman diambil dari nama gunung dan sebuah sungai yang ada di daerah tersebut yaitu Pasaman. Sedangkan kata pasaman berasal dari kata persamaan. Kata ini muncul ketika terjadi kesepakatan antara kedua suku bangsa yang mendiami daerah tersebut (Mandahiling dan Minangkabau). Kesepakatan ini muncul ketika mereka melihat ada persamaan yang terdapat antara kedua suku bangsa ini (walaupun juga terdapat beberapa perbedaan yang mencolok misal dalam segi bahasa). 
    Sebagai daerah perbatasan provinsi, pasaman banyak mendapatkan pengaruh budaya daerah tetangga. Salaj satu budaya luar yang mempengaruhi mereka adalah suku bangsa Mandahiling yang berasal dari Kabupaten Tapanuli Selatan dan Kabupaten Mandahiling Natal Provinsi Sumatera Utara. Dominannya suku bangsa mandahiling di Pasaman khususnya daerah-daerah perbatasan kedua provinsi ini merupakan akibat dari lancarnya transportasi dari kedua daerah yang berdampak pada tingginya mobilitas kedua daerah ini. Selain itu pada waktu dulu juga telah terjalin hubungan baik antara kedua daerah ini, tepatnya pada masa perang Paderi yang dipimpin oleh Tuanku Imam Bonjol. Kaum Paderi dengan cepat dapat mengembangkan agama Islam kedaerah ini, daerah ini berada dibawah pengaruh Paderi ± 17 tahun (1816-1833). 
        Daerah-daerah di Kabupaten Pasaman yang berbatasan langsung dengan Provinsi Sumatera Utara adalah Kecamatan Talamau, Kecamatan Rao, Kecamatan Mapattunggul, dan Kecamatan Air Bangis. Daerah-daerah tersebut yang paling banyak mendapat pengaruh budaya Mandahiliang terutama Kecamatan Talamau dan Kecamatan Rao dan Mapattunggul.

2. Wujud Budaya Perbatasan 
    Mengutip pendapat Koentjaraningrat, kebudayaan terdiri atas wujud gagasan (sistem ide), wujud perilaku (sistem sosial), dan wujud materi (benda budaya) dan di antara ketiga wujud tersebut ada yang murah untuk berobah dan ada yang sulit untuk berobah. 
    Pada dasarnya unsur-unsur kebudayaan suatu suku bangsa akan berubah mengikuti perkembangan jaman, terutama bila berinteraksi dengan budaya luar. Salah satu contoh sarana yang mempercepat proses perubahan tersebut adalah perkawinan campuran. Yaitu perkawinan yang dilakukan oleh seorang perempuan Mandahiling dengan seorang laki-laki Minangkabau atau sebaliknya. Pada kasus ini kedua belah pihak akan saling memberi dan menerima unsur-unsur budaya mereka yang tentunya saja bertolak belakang. Seperti diketahui bahwa pada suku bangsa Mandahiling dan Minangkabau terdapat perbedaan yang tegas terutama dalam masalah garis keturunan. Minangkabau bersifat matrilineal dan Mandahiling bersifat patrilineal. 
    Dari segi karakteristik terdapat beberapa perbedaan. Mengutip dari pendapat para ahli, Pelly merumuskan adanya perbedaan karakter tersebut :
   1. Orang Minangkabau yang dibesarkan dalam masyarakat egaliter yang relatif demokratis sangat menghargai kebebasan individual mereka. Sebaliknya orang Mandahiling dibesarkan dalam suatu aristokrasi turun temurun dalam mana adat dan kepenghuluan (kuria) lebih berkuasa atas diri mereka. Kondisi ini menjadi referensi pekerjaan dan struktur asosiasi religius mereka. 
  2. Orang Minangkabau menyukai perdagangan, kerajinan, dan pekerjaan-pekerjaan profesional, sementara orang Mandahiling menyukai dinas sipil (pegawai), militer, dan bertani. 
    3. Dalam pola pemukiman, orang Minangkabau cendrung berkonsentrasi di sekitar pusat-pusat pasar, sementara orang-orang Mandahiling lebih suka berada di pinggiran-pinggiran yang hening dan nyaman.
   4. Dalam bidang keagamaan, orang Minangkabau cendrung memilih organisasi islam reformis yaitu Muhammadiyah, sedangkan orang Mandahiling lebih memilih Al- Washliyah yang lebih tradisional.
Berangkat dari berbagai perbedaan tersebut lahir kebudayaan umum lokal sebagai acuan berperilaku dalam masyarkat daerah tersebut. Sehingga budaya Mandahiling dan budaya Minangkabau tidak lagi seperti yang ada di daerah asli mereka masing-masing. Kebudayaan mereka dimodifikasi sedemikian rupa, modifikasi tersebut dapat dilihat pada sistem kekerabatan, pemerintahan adat, bahasa dan perkawinan.

3. Sistem Kekerabatan 
    Kelompok kekerabatan terkecil (keluarga inti) dalam masyarakat Minangkabau adalah Samande (seibu), sedangkan gabungan dari beberapa samande disebut saparuik (satu perut) yang dihitung sampai lima keturunan dan tinggal dalam satu kampung dan dipimpin oleh seorang panghulu. Pada tingkatan yang lebih besar diistilahkan dengan sesuku. Pada kasus daerah ini juga berlaku sistem yang seperti ini namun namanya berubah dengan istilah saboltok (satu perut). Saboltok merupakan tingkatan sanak seseorang yang paling jauh, yakni ibu dari nenek. Jadi dalam satu kaum bisa saja terdiri dari 3 baltok. Beberapa baltok ini kemudian membentuk kaum yang dikepalai oleh mamak kaum yang disebut mamak tuo. Pada tingkatan yang lebih tinggi beberapa kaum kemudian membentuk satu kepenghuluan.
    Pada budaya Minangkabau tidak ada batasan tegas mengenai pelapisan sosial, untuk membedakannya berdasarkan penduduk yang mula-mula membuka daerah dengan penduduk yang datang belakangan. Bagi pendatang, bisa mempunyai hak yang sama dengan penduduk asli setelah mereka mengisi adat, manuang limbago (yang artinya mengaku mamak kepada salah seorang penduduk asli yang berada di sana), namun mereka tidak berhak menyandang gelar adat yang ada di Minangkabau. 
    Mengenai istilah kekerabatan, sistem yang dipakai tidak berbeda dengan budaya Minangkabau umumnya, mereka masih mengikuti garis keturunan ibu. Namun sudah mengalami perubahan dari segi bahasa, yaitu dipengaruhi oleh bahasa Mandahiling. Sistem pewarisan masih mengikuti nilai-nilai yang ada di Minangkabau. Tujuan dari semua itu pada dasarnya untuk mempertahankan garis keturunan dan penentuan sistem pewarisan. 
    Satu hal yang paling menarik di daerah ini adalah adanya pemakaian marga di belakang nama seseorang sebagaimana di daerah budaya Batak. Namun marga tersebut tidak sama pengertiannya dengan marga yang ada di Sumatera Utara. Pemakaian marga tersebut hanyalah untuk memberitahukan bahwa mereka adalah juga orang Mandahiling. Ketika mereka di tanya apakah mereka orang Mandahiling, mereka pada umumnya tidak mengakui hal tersebut, mungkin ini merupakan salah satu strategi aghar mereka dapat dianggap di dalam lingkungan bermain mereka.

4. Bahasa 
    Dalam kehidupan sehari-hari tidak ada batasan apa-apa yang lazim dipergunakan. Tapi bahasa yang dominan dipergunakan adalah bahasa Mandahiling terutama penduduk yang berasal dari Mandahiling, namun bahasa ini juga dimengerti oleh masyarakat Minangkabau. Hal ini juga terjadi sebaliknya, bahasa Minangkabau juga dimengerti oleh mereka masyarakat Madahiling. Dengan adanya penggunaan kedua bahasa tersebut, secara tidak langsung mengakibatkan adanya kata-kata yang diserap dari kedua bahasa tersebut. Sehingga bahasa Mandahiling atau Minangkabau yang dipakai tidak seperti lazimnya di daerah asli mereka. Seperti pada kalimat “bisuak awak tu bondar” (bisuak awak = besok kita, Mk – tu bondar = ke sawah, Mdlg). Dari contoh ini dapat kita lihat ada pencampuran bahasa dalam interaksi yang mereka lakukan.

5. Pemerintahan Adat 
    Sistem pemerintahan tradisional masih didasarkan budaya Minangkabau dengan pimpinan tertinggi adalah pucuk adat. Ada dua sistem pemerintahan tradisional yang berlaku dalam budaya Minangkabau yaitu sistem kelarasan koto piliang dan bodi caniago. Pada sistem pemerintahan koto piliang, fungsionaris adat atau penghulu dipilih menurut keturunan langsung dari keturunan ibu, sedangkan sistem bodi caniago dipilih melalui musyawarah. Di daerah ini pucuk adat dipilih secara turun temurun dan diganti apabila meninggal, permintaan sendiri, atau di rebut. Sedangkan untuk melaksanakan tugas pemerintahan sehari-hari adalah manti nagari yang dipilih lima tahun sekali dengan SK Gubernur. 

6. Adat Perkawinan 
    Adat perkawinan yang berlaku sama halnya dengan adat Minangkabau pada umumnya. Namun sebagai akibat dari pertemuan dua budaya yang berbeda, adat perkawinan umumnya dilaksanakan dengan adat Minangkabau, Mandailing, atau modifikasi keduanya. Dengan demikian ada tiga jenis upacara adat perkawinan yang berlaku, yaitu :
     •Adat Perkawinan Sumando 
    Pada adat perkawinan sumando ini sama halnya dengan adat Minangkabau umumnya, yaitu baulua-bajawek, baimbang – batarimo, dan laki-laki datang ke rumah perempuan.
     •Adat Perkawinan Serikat 
    Adat perkawinan ini terjadi apabila terdapat suautu persetujuan antara laki-laki dan perempuan yang tidak boleh dilarang. Perkawinan ini terjadi antara laki-laki Minangkabau dengan perempuan Mandahiling. Pada perkawinan ini, ketentuan melamar adan adat menetap setelah menikah tergantung pada kesepakatan kedua belah pihak, namun cendrung bersifat neolokal. Sedangkan suku bangsa anak diakui sebagai orang Minangkabau yang didasarkan pada suku bangsa si ayah, namun tidak mewarisi sako karena ibunya bukan orang Minangkabau.
     • Adat Perkawinan Menjujur/ Jujuran 
    Pada perkawinan jujuran ini perempuan dibawa ke tengah-tengah keluarga suami, yang dimaksud untuk membukakan pintu yang tertutup dan janjang yang salah, dengan syarat adanya kesepakatan dalam kaum. 

PENUTUP

Kesimpulan 
    Sebagai daerah perbatasan, kecamatan Talamau dan Rao Mapattunggul dipengaruhi oleh dua bentuk budaya. Yaitu budaya Minangkabau sebagai budaya asli dan budaya Mandahiling sebagai budaya pendatang. Dampak yang lahir akibat interaksi yang intensif, telah memunculkan sebuah budaya umum lokal yang diterima oleh masing-masing pendukung kebudayaan tersebut. Budaya umum lokal tersebut merupakan hasil akulturasi dari budaya dua budaya yang saling mengintegrasikan diri. Beberapa unsur yang dapat kita lihat perobahannya adalah dari segi bahasa, sistem perkawinan, pemerintahan tradisional, dan istilah-istilah kekerabatan. 
    Dengan budaya umum lokal ini dapat meminimalkan munculnya konflik antar suku bangsa. Walaupun demikian, di sisi lain hal ini dikhawatirkan akan mengaburkan identitas etnis Mandahiling dan Minangkabau di daerah tersebut. Hal ini dapat terjadi apabila pengakuan dari penduduk yang berbudaya asli Mandahiling tidak mengakui bahwa mereka adalah orang Mandahiling, mereka menyebut diri mereka sebagai orang asli Minangkabau. Walaupun di belakang nama mereka terdapat nama marga salah satu orang tuanya. 
    Pembauran kedua budaya di daerah perbatasan pada dasarnya sangat baik untuk meminimalisir konflik etnis yang sering terjadi di negara multi etnik, terutama daerah-daerah perbatasan. Dengan dibentuknya kesepakatan budaya lokal yang diakui oleh mereka yang berada pada satu tempat namun berbeda budaya, setidaknya akan menambah kekayaan Indonesia sebagai negara yang memiliki keunikan-keunikan di setiap daerah budayanya (cultur area).

Komentar